Di Terjang Badai

Aku di terjang badai, rasanya aku akan segera larut dan tenggelam dalam dingin yang tak kunjung usai, semakin dalam, semakin kelam, sakit dan menyiksa ku setiap Malam Aku di terjang badai, di tengah laut tak mampu lagi untuk berenang, ku pastikan aku akan tenggelam, rasanya aku akan menghilang dengan luka yang Lebam Seiring waktu aku tumbuh, jiwaku semakin rapuh, berkali-kali aku terjatuh, mengejar bahagia yang seketika runtuh kala mengingat masa lalu yang perlahan Membunuh Meski sering ku coba untuk bangkit, melawan semua rasa sakit, menyembunyikan luka dari ingatan pahit, namun tetap saja sungguh terasa sulit, bahkan tak lagi bisa memejamkan mata hingga menunggu matahari Terbit Jika ditanya, apa hal yang paling aku rindukan? aku akan jawab kasih sayang, rasa aman, dan Pertolongan Jika ditanya, apa hal yang paling aku takutkan? aku akan jawab dinginnya malam, sendirian, dan Kepergian Aku sudah lama tak disini, tubuhku masih berdiri, jiwaku sudah lama mati, belasan tahun aku sembunyi pada luka yang tak kunjung sembuh Sendiri Aku ingin sekali sampaikan, aku ingin kembali dan selamatkan anak kecil yang tak bersalah, yang memendam semuanya sendiri, yang menanggung beban hingga saat ini, yang tak pernah percaya bahwa badai akan usai dan berhenti

“Nama nya juga hidup”

kunamai pupil indahmu.kusebut kenari kunci qalbu ku sebut kenang di hatiku agar ramai padika aksara walau jauh lama tak jumpa,jelita mu sangat terkenang di dalam dada tapi aku pamit agar enyah cinta kita yang rumit pergi dan taati orang rumah karena cinta yang baik itu tak lah menjarah abdi nan bakti kejar asmara illahi bagai angin yang menerbangkan debu,kau kubawa terbang agar kau hinggap di suatu,agar kau menemui singgasanamu sebagai ratu kan ku tatap aksamu,dan kupaksa amertaku melupakanmu,”ngopi 3 gelas”Magelang kota sangat panas,

TOXIC MASCULINITY

LToxic masculinity adalah istilah untuk merujuk anggapan tentang maskulinitas yang berlebihan dan negatif.Toxic masculinity berangkat dari stereotipe semacam ini. Misalnya, aktivitas di dapur merupakan aktivitas khas perempuan. Sedangkan bekerja menguras keringat di luar rumah adalah aktivitas khas laki-laki.Journal of Psychology mendefinisikan toxic masculinity atau maskulinitas beracun sebagai sifat maskulin dalam konstruksi sosial yang digunakan untuk mendorong kekerasan, dominasi, dan merendahkan perempuan. Dalam masyarakat patriarkis, konstruksi tentang apa itu maskulinitas laki-laki cenderung memiliki standar yang dilebih-lebihkan. Hal tersebut memicu timbulnya toxic masculinity, seperti misalnya haram hukumnya laki-laki menunjukkan kesedihan dan kelemahan, sebab laki-laki adalah orang yang perkasa dan tahan banting.Biasanya, toxic masculinity ditanamkan pada anak-anak dan remaja. Mereka diajarkan untuk menjadi “jantan” dengan tidak menunjukkan emosinya. Dalam budaya patriarki, laki-laki harus lebih superior dibanding perempuan. Tak jarang mereka yang menangis akan dilabeli “bencong”.Dampak toxic masculinity.Stereotipe masyarakat patriarkis menuntut laki-laki untuk selalu tampil kuat. Tak jarang, laki-laki sering memendam masalahnya sendiri. Mereka juga akan kesulitan mengekspresikan perasaannya. Padahal, menurut psikologi, kunci hidup sehat salah satunya adalah mengkomunikasikan pikiran dan perasaan dengan tepat.Tuntutan tersebut rentan membuat laki-laki mengalami stress dan depresi. Dalam beberapa kasus kekerasan seksual terhadap laki misalnya, korban laki-laki banyak yang memilih diam. Laki-laki korban kekerasan seksual tidak berani speak up karena, salah satunya, ketakutan tidak dianggap jantan karena mengalami kekerasan seksual dinilai berkebalikan dengan konsep kejantanan.Dampak lainnya adalah meningkatnya kasus kekerasan seksual. Hal tersebut karena toxic masculinity selalu ingin lebih tinggi daripada perempuan. Oleh karenanya, toxic masculinity dapat mendorong ketidaksetaraan gender yang dapat meningkatkan angka kasus kekerasan seksual.